Larangan Menimbun dan Monopoli

Meskipun Islam memberikan kesempatan yang luas bagi kaum muslimin untuk menjalankan aktivitas ekonominya, namum Islam menekankan adanya sikap jujur, yang dengan kejujuran itu diharapkan dapat dijalankannya sistem ekonomi yang baik. Sebab Islam sangat menentang adanya sikap kecurangan, penipuan, praktek pemerasan, pemaksaan dan semua bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain

Yusuf Al-Qardhawi dalam fatwa fatwa Kontemporer, menegaskan, jangan menimbun barang dagangan ketika masyarakat sangat membutuhkannya, dengan tujuan memperoleh laba berlimpah. Hal tersebut merupakan perbuatan yang di haramkan. Larangan ini mencakup semua barang dagangan, tidak  hanya bahan-bahan pokok.

Ia mengutip hadis Rasulullah untuk mendukung argumennya. "Tidak akan menimbun kecuali orang yang berbuat dosa," (H.R Muslim dan Abu Daud). Predikat khathi'un atau orang yang berbuat dosa, jangan dianggap perkara sepele.

A. Larangan Terhadap Tengkulak

Artinya: “Dari Thawus, dari Ibnu Abas r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kamu menjemput (mencegat) para pedagang yang membawa barang-barang dagangan mereka sebelum diketahui harga pasaran, dan janganlah orang kota menjual barang buat orang desa. Aku bertanya kepada Ibnu Abas: apa yang dimaksut dari sabda rasul bahwa orang kota tidak boleh menjual dagangannya dengan orang desa itu ? jawab ibnu abas: maksudnya janganlah orang kota menjadi makelar atau perantara (penghubung yang memuji-muji dagangannya bagi orang desa.” (Hadits disepakati Imam Bukhari dan Muslim)

Perantara menurut penafsiran Ibnu Abas dari kata Hadiru libad, yakni penduduk kota menjadi perantara bagi penduduk desa, dengan mengambil keuntungan atau bayaran. Jika perantara tersebut tidak mengambil keuntungan atau bayaran itu diperbolehkan secara mutlak, bahkan orang tersebut dianggap telah melakukan kebaikan bagi para penduduk.

Namun, tujuan para tengkulak dari kota menjadi perantara tidak lain adalah mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka membodohi penduduk desa dengan menjual barang dengan sangat tinggi sesuai dengan keinginan mereka, perbuatan tersebut tentu saja dilarang oleh Islam kerena sangat merugikan.

Tentu berbeda hukumnya, bila perantara betul-betul berusaha menolong penduduk yang tidak dapat membeli langsung dari pasar atau dari para kafilah. Seperti yang telah disebutkan diatas, barang-barang tersebut tidak akan sampai ketangan penduduk jika tidak melalui tengkulak.
Perantara seperti itu dibolehkan bahkan ia telah menjadi penolong bagi orang-orang yang tidak mampu ke kota untuk membeli barang. Tetapi  jangan sampai mengambil keuntungan yang berlebihan, lebih baik mengambil keuntungan sedikit atau tidak mengambil keuntungan sama sekali. Perantara seperti itu di kategorikan sebagai pedagang yang diperbolehkan dalam Islam, bahkan kalau jujur dan bersih, mereka telah melakukan pekerjaan yang paling baik

Kita ketahui dalam sejarah, bahwa masyarakat Arab banyak mata pencariannya sebagai pedagang. Mereka berdagang dari negeri yang satu ke negeri yang lain. Ketika mereka kembali, mereka membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh penduduk  Makkah. Mereka datang bersama rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk Arab berebut untuk mendapatkan barang tersebut karena harganya murah.

Oleh karena itu, banyak tengkulak atau makelar mencegat rombongan tersebut di tengah jalan atau memborong barang yang dibawa oleh mereka. Para tengkulak tersebut menjualnya kembali dengan harga yang sangat mahal. Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama Islam.

Rasulullah saw bersabda: “Apabila dua orang saling jual beli, maka keduanya memiliki hak memilih selama mereka berdua belum berpisah, dimana mereka berdua sebelumnya masih bersama atau selama salah satu dari keduanya memberikan pilihan kepada yang lainnya, maka apabila salah seorang telah memberikan pilihan kepada keduanya, lalu mereka berdua sepakat pada pilihan yang diambil, maka wajiblah jual beli itu dan apabila mereka berdua berpisah setelah selesai bertransaksi, dan salah satu pihak diantara keduanya tidak meninggalkan transaksi tersebut, maka telah wajiblah jual beli tersebut.” (diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim, sedangkan lafaznya milik muslim).

Dalam hadits tersebut jelaslah bahwa Islam mensyari’atkan bahwa penjual dan pembeli agar tidak tergesa-gesa dalam bertransaksi, sebab akan menimbulkan penyesalan atau kekecewaan. Islam menyari’atkan tidak hanya ada ijab kabul dalam jual beli, tapi juga kesempatan untuk berpikir pada pihak kedua selama mereka masih dalam satu majlis.

B. Larangan Menimbun Barang Pokok

Istilah monopoli dalam terminologi Islam tidak ditemukan secara konkrit namun dalam muamalat terdapat satu ungkapan yang disinyalir hampir mirip dengan monopoli yaitu al-Ihtikar. Al-Ihtikar merupakan bahasa Arab yang definisinya secara etimologi ialah perbuatan menimbun, pengumpulan (barang-barang) atau tempat untuk menimbun. Dalam kajian fikih al-Ihtikar bermakna menimbun atau menahan agar terjual. Adapun al-Ihtikar secara terminologis adalah menahan (menimbun) barang-barang pokok manusia untuk dapat meraih keuntungan dengan menaikkan harganya.

Monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki unsur kepentingan sepihak (motivasi yang kuat) dalam mempermainkan harga (price maker). Pelaku monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki hak opsi untuk menawarkan barang-barang ke pasaran atau tidak. Monopoli dan Ihtikar dapat mengakibatkan polemik dan ketidakpuasan pada masyarakat. Monopoli dan ihtikar merupakan salah satu cara golongan orang kaya untuk mengeksploitasi (Zulm) golongan miskin.

Artinya:
“Dari Ma’mar bin Abdullah r.a. dari Rasulullah SAW beliau bersabda: Tidaklah yang menimbun itu, agar barang naik, kecuali orang yang bersalah.”(HR Muslim).

Ibnu Abdul Bar berkata, bahwa sesungguhnya Sa’id dam Ma’mar hanya menimbun minyak, sedangkan mereka menafsirkan hadis diatas kepada arti penyimpanan bahan pokok pada waktu dibutuhkan, demikian juga Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan lain-lain. Hadis diatas menunjukkan bahwa penimbunan yang dilarang itu adalah ketika dalam keadaan barang-barang yang ditimbun itu dibutuhkan dan sengaja untuk tujuan menaikkan harga

Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.

At Tirmidzi berkata [sunan III/567], “Hukum inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu. Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan selain bahan makanan. Ibnul Mubarak berkata, “Tidak mengapa menimbun kapas, kulit kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya“.

Al Baghawi berkata [Syarhus Sunnah VIII/178-179], “Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ihtikar. Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata, “Tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong barang-barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang memasukkan barang dari luar dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim panas, maka terserah padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya.”"

Diriwayatkan dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, “Dilarang menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar”.
Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan makanan saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat Abdullah bin Al Mubarak dan Imam Ahmad.

Imam Ahmad berkata, “Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku seperti di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana“.

An Nawawi berkata [Syarh Shahih Muslim XI/43], “Hadits diatas dengan jelas menunjukkan haramnya ihtikar. Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam madzhab kami“.

Menurut Sayyid Sabiq, sejumlah ahli fikih menetapkan batasan kapan penimbunan barang dinyatakan haram. Ada sejumlah kategori, yaitu pertama, barang yang ditimbun lebih dari yang dibutuhkan untuk kebutuhan setahun penuh. Seseorang diizinkan menimbun nafkah pangan bagi diri dan keluarganya selama satu tahun

Kedua, pemilik barang yang ditimbun menunggu terjadinya kenaikan harga barang. Kemudian Ia menjual barang tersebut dengan harga lebih tinggi untuk keuntungan sangat tinggi.

Ketiga, penimbunan dilakukan pada saat masyarakat sangat membutuhkan barang tersebut.
Misalnya, makanan, pakaian, dan barang lain yang sangat dibutuhkan. Menurut Sayyid Sabiq, jika barang-barang yang ada pada para pedagang itu tak dibutuhkan masyarakat maka bukan dianggap sebagai penimbunan. Dengan alasan, tak membuat kesulitan bagi publik.

Dari keterangan-keterangan di atas menjadi jelas bahwa larangan menimbun/ihtikar mencakup semua kebutuhan manusia secara umum baik bahan makanan atau selainnya, maka termasuk dilarang menimbun beras, tepung, gula, minyak tanah, bensin , solar, minyak goreng, kain, obat-obatan, pupuk, bahan bangunan, atau selainnya, apabila manusia sangat membutuhkannya dan mereka kesulitan mendapatkannya sehingga membahayakan kehidupan mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Al Hafidz Ibn Hajar ‘Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam
Jacksite, “Hukum Menimbun Barang (Ikhtikar)”, http://jacksite.wordpress.com/2007/07/20/hukum-menimbung-barang-ihtikar/
http://mutiaraku2.wordpress.com/2008/05/12/menimbun-barang-dagangan-bolehkah/
Sariman, “ Larangan menimbun dan Monopoli,”,
http://imanfreedom.blogspot.com/2011/05/larangan-menimbun-dan-monopoli.html?zx=fd55a3bd7317831e

Manusia dan Kebutuhan Doktrin Agama

Manusia merupkan makhluk paling sempurna yang dianugerahi Allah SWT, berupa kesempurnaan fisik dan kepintaran akal. Untuk itu secara naluri, manusia sadar bahwa terdapat kekuatan Maha Besar sebagai tempat meminta pertolongan dan perlindungan. Dari situ kita sadar bahwa kita adalah makhluk yang lemah, meskipun diberikan berbagai kelebihan dibanding makhluk lain.

Setiap manusia lahir dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak mengetahui sesuatupun. Sesuai  firman Allah SWT dalam Q. S. An Nahl (16) : 78 Artinya:  "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. Dan  Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur".

Dalam keadaan lemah, manusia senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam godaan dan rayuan. Godaan yang muncul bisa dari dalam diri ataupun dari luar, berupa kebaikan (Malak Al Hidayah) ataupun keburukan ( Malak Al Ghiwayah). Disinilah peran agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia ke jalan yang benar agar terhindar dari kejahatan atau kemungkaran.

Agama merupakan risalah yang disampaikan Allah SWT kepada para nabi-Nya untuk memberi peringatan kepada manusia. Memberi petunjuk sebagai hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan manusia dalam menyelenggarakan tata hidup yang nyata. Mengatur tanggung jawab kepada Allah SWT, kepada masyarakat dan alam sekitarnya.

Agama adalah kebutuhan umat manusia, karena didalamnya terdapat sumber ajaran mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Agama mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, serta menghargai akal pikiran melalui pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengajarkan manusia untuk bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual. Agama juga mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, mengutamakan persaudaraan, dan berakhlak mulia.

 Menurut Malik Bennabi, agama adalah “katalisator” yang selalu hadir dibalik kelahiran suatu peradaban. Contohnya, “kita dapat menjumpai kota-kota tanpa dinding, tanpa raja, tanpa peradaban, tanpa literatur, atau tanpa gedung teater, tapi seseorang tidak pernah menjumpai sebuah kota tanpa tempat-tempat peribadatan atau penganut-penganut agama.

Sementara Henri Bergson (1859-1941), juga menulis ide yang sama, bahwa “kita jumpai di masa lampau dan sekarang, masyarakat tanpa sains, tanpa seni, tanpa filsafat, tapi kita tidak pernah menjumpai sebuah masyarakat tanpa agama”   Karena agama “adalah fenomena universal dan sudah ada sejak lama dalam sejarah kehidupan manusia, mulai dari pemujaan patung-patung dan kepercayaan-kepercayaan yang paling primitif hingga Islam yang bertauhid.

A.      KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA

Menurut Malik Bennabi, fenomena beragama adalah fenomena yang sudah ada sejak lama sebagai karakteristik manusia, dari manusia yang sangat primitif sampai manusia yang sudah memiliki peradaban tinggi. Manusia digambarkan sebagai homo religiosus (makhluk beragama). Sehingga agama bukan hanya sebagai aktifitas spiritual manusia, tetapi ia adalah fitrah universal yang tidak pernah luput dalam sejarah suatu bangsa (baik masa lampau, sekarang, maupun yang akan datang).

Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam kehidupan ini di luar dirinya. Ini dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan hidup, musibah, dan berbagai bencana. Ia mengeluh dan meminta pertolongan kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya dari keadaan itu. Naluriah ini membuktikan bahwa manusia perlu beragama dan membutuhkan Sang Khaliknya.

Al-Quran telah menjelaskan agama sebagai fitrah manusia, seperti yang terdapat dalam

Q.S. Ar Ruum (30) : 30, yang artinya : "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Beberapa faktor yang menyebabkan pentingnya agama sebagai kebutuhan manusia adalah sebagai berikut :

    Faktor Kondisi Manusia

Kondisi manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur jasmani dan rohani. Untuk menumbuhkan dan mengembangkan kedua unsur tersebut, maka harus diberi perhatian khusus dan seimbang. Unsur jasmani membutuhkan pemenuhan yang bersifat fisik atau jasmaniah, seperti makan-minum, olah raga, bekerja dan istirahat yang seimbang, dan segala aktifitas jasmani yang dibutuhkan. Unsur rohani membutuhkan pemenuhan yang bersifat psikis (mental), diantaranya pendidikan agama, budi pekerti, kasih sayang, dan segala aktifitas rohani yang dibutuhkan.

     Faktor Status Manusia

Status manusia adalah sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, jika dibandingkan makhluk lain. Allah SWT menciptakan manusia lengkap dengan segala kesempurnaan, yang menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang mempunyai  kesempurnaan akal dan pikiran, hati nurani, kemuliaan, dan berbagai kelebihan lainnya. Dengan kesempurnaan yang dimiliki, Allah SWT menempatkan kita pada permukaan yang paling atas dalam garis horizontal sesama makhluk. Dengan akalnya, manusia mengakui adanya Allah SWT. Dengan hati nuraninya, manusia menyadari bahwa dirinya tidak lepasdari pengawasan dan ketentuan Allah SWT. Dan dengan agama, manusia belajar mengenal Tuhannya dan belajar cara berkomunikasi dengan sesamanya.

    Faktor Struktur Dasar Kepribadian Manusia

Dalam teori psiko-analisis Sigmun Freud, struktur dasar kepribadian manusia terdiri dari tiga aspek, yaitu :
* Aspek Das es (Aspek Biologis) : aspek ini merupakan sistem yang orisinal dalam kepribadian manusia  yang berkembang secara alami dan menjadi bagian yang subjektif yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia objektif.
* Aspek Das ich (Aspek Psikis) : timbul karena kebutuhan organisme untuk hubungan baik dengan dunia nyata.
*Aspek das uber ich (Aspek Sosiologis) : mewakili nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat.

B.         FUNGSI  AGAMA  DALAM  KEHIDUPAN

Secara terperinci agama memiliki peranan yang bisa dilihat dari beberapa aspek. Diantaranya adalah aspek keagamaan (religius), kejiwaan (psikologis), kemasyarakatan (sosiologis), asal usulnya (antropologis) dan moral (ethics).

· Dari Aspek Keagamaan (Religius) : Agama menyadarkan manusia, tentang siapa penciptanya.

·  Secara Asal usul (Antropologis) : Agama memberitahukan kepada manusia tentang siapa, darimana, dan mau kemana manusia.

·  Dari segi Kemasyatakatan (Sosiologis) : Sarana-sarana keagamaan sebagai lambang-lambang masyarakat yang kesakralannya bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku   oleh seluruh anggota masyarakat. Dan fungsinya untuk mempertahankan dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban sosial.

·  Secara Kejiwaan (Psikologis) : Agama bisa menenteramkan, menenangkan, dan membahagiakan kehidupan jiwa seseorang.

·  Dan secara Moral (Ethics), agama menunjukkan tata nilai dan norma yang baik dan buruk, dan mendorong manusia berperilaku baik (akhlaq mahmudah).

C.      RASA INGIN TAHU MANUSIA (Human Quest for Knowledge)

Manusia lahir tanpa mengetahui sesuatu ketika itu yang diketahuinya hanya ”saya tidak tahu”. Tapi kemudian dengan panca indra, akal, dan jiwanya sedikit demi sedikit pengetahuannya bertambah, dengan coba-coba (trial and error), pengamatan, pemikiran yang logis dan pengalamannya ia menemukan pengetahuan. Namun demikian keterbatasan panca indra dan akal menjadikan sebagian banyak tanda tanya yang muncul dalam benaknya tidak dapat terjawab. Hal ini dapat mengganggu perasaan dan jiwanya, dan semakin mendesak pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin gelisah ia apabila tak terjawab. Hal inilah yang disebut dengan rasa ingin tahu manusia. Manusia membutuhkan informasi yang akan menjadi syarat kebahagiaan dirinya.

D.        DOKTRIN  KEPERCAYAAN  AGAMA

Perlu dipahami bahwa dalam menjalankan fungsi dan mencapai tujuan hidupnya, manusia telah dianugerahi oleh Allah SWT dengan berbagai bekal seperti: naluri (insting), pancaindra, akal, dan lingkungan hidup untuk dikelola dan dimanfaatkan. Fungsi dan tujuan hidup manusia adalah dijelaskan oleh agama dan bukan oleh akal. Agama justru datang karena ternyata bekal-bekal yang dilimpahkan kepada manusia itu tidak cukup mampu menemukan apa perlunya ia lahir ke dunia ini. Agama diturunkan untuk mengatur hidup manusia. Meluruskan dan mengendalikan akal yang bersifat bebas. Kebebasan akal tanpa kendali, bukan saja menyebabkan manusia lupa diri, melainkan juga akan membawa kepada jurang kesesatan, mengingkari Tuhan, tidak percaya kepada yang gaib dan berbagai akibat negatif lainnya.

Yang istimewa pada doktrin agama ialah wawasannya lebih luas. Ada hal-hal yang kadang tak terjangkau oleh rasio dikemukakan oleh agama. Akan tetapi pada hakikatnya tidak ada ajaran agama (yang benar) bertentangan dengan akal, oleh karena agama itu sendiri diturunkan hanya pada orang-orang yang berakal. Maka jelas bahwa manusia tidak akan mampu menanggalkan doktrin agama dalam diri mereka. Jika ada yang merasa diri mereka bertentangan dengan agama maka akalnya lah yang tidak mau berpikir secara lebih luas.

SUMBER REFERENSI
1) Drs. M. Yatimin, M.A, Studi Islam Kontemporer
2) Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, M.A., Pengantar Studi Islam
3) Al Qur'an dan Terjemah
4) Dr. Usman Syihab, M.A, Membangun Peradaban dengan Agama
5) Hardianto Prihasmono Ebook Ringkasan Shahih Bukhori

Pemikiran Kalam Khawarij dalam ilmu Kalam

 Pemikiran Kalam Khawarij 1. Pengertian dan Penisbatannya A l-Khawarij adalah bentuk jama' dari khariji (yang keluar). Nama khawarij d...