Nasikh Mansukh Dalam Al-Qur'an


Tidak terbilang banyaknya ulama menulis buku yang secara khusus membahas masalah Nasikh Mansukh. Antara lain Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, Abu Daud as-Sijstani, Abu Ja’far an-Nahas, Ibn al-Anbari, Makki, Ibn ‘Arabi, dan lain-lain. Di antara ulama sekarang yang menulis tentang Nasikh Mansukh adalah Dr.Mustafa Zaid dengan judul an-Nasikh fi al-Qur’an.

Al Maraghi menjelaskan bahwa hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia. Hal ini mungkin berubah karena adanya perubahan keadaan waktu dan tempat, sebingga apabila suatu hukum diundangkan untuk kebutuhan pada satu waktu, kemudian kebutuhan itu berakhir, maka merupakan suatu langkah yang bijaksana apabila ia dinasikh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang lebih baik dari hukum semula atau sama segi manfaatnya bagi hamba-hamba Allah.

Abu Muslim berkata bahwa hukum Tuhan yang dibatalkan bukan berarti bathil. Sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu, bukan berarti yang dibatalkan itu tidak benar ketika berlaku pada masanya. Dengan demikian yang membatalkan dan yang dibatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan bathil.

A. PENGERTIAN NASIKH MANSUKH

Naskh menurut bahasa berarti izalah (menghilangkan). Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain.
Menurut istilah naskh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Dengan perkataan “hukum”, maka tidak termasuk dalam pengertian nasikh menghapuskan “kebolehan” yang bersifat asal (al-bara’ah al asliyah). Dan kata-kata “dengan khitab syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum disebabkan mati atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.

Oleh para ulama muata ‘akhirin, nasikh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut, atau menyatakan berakhirnya masa berlaku hukum terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawaris atau hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawaris atau hukum yang terkandung didalamnya,  misalnya, adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh). Dari uraian di atas dapat disampaikan bahwa dalam nask diperlukan syarat-syarat berikut:

1.Hukum yang mansukh dalam hukum syara’
2.Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari kitab yang hukumnya mansukh.
3.Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.

B. DASAR KEMUNGKINAN TERJADINYA NASIKH MANSUKH

Adanya nasikh dan mansukh tidak dapat dipisahkan dari cara turunnya Al Qur’an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapai. Kitab suci Al Qur’an tidak turun sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun.

Syariat Allah merupakan perwujudan dan rahmat-Nya Dialah yang mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya melalui sarana syari’at-Nya. Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang nyaman, sejahtera dan bahagian dunia akhirat.
Berikut adalah beberapa pernyataan  para ulama mengenai nasikh mansukh.
-Para ulama sepakat adanya nasikh berdasarkan nash Al Qur’an dan Sunnah
-Syariat selalu memelihara kemaslahatan manusia
-Nasikh tidak terjadi pada berita-berita, tetapi terjadi pada hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah halal dan haram
-Hukum-hukum itu bersumber dari Allah SWT yang disyariatkan demi kemaslahatan dan kebahagiaan manusia.
-Menyimpang dari jalan yang lurus dan mengikuti jejak orang-orang yang sesat, menjadi penyebab kesengsaraan.

Beberapa cara untuk mengetahui nasikh dan mansukh.
-Keterangan tegas dari nabi atau sahabat,
Seperti hadis “Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah kubur, maka (kini) berziarah kuburlah”. (Hadis Hakim)
-Kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh.
-Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang kemudian dalam perspektif sejarah.

C. PEMBAGIAN NASIKH MANSUKH

1.Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Nasakh semacam ini disepakati kebolehannya oleh para ulama dan telah terjadi secara hukum, seperti ayat tetang idah yang masanya satu tahun menjadi empat bulan sepuluh hari. QS.Al-Baqarah:240
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Baqarah 2:240)

Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 234.
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali) memberiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. ( QS. Al-Baqarah:234)

Dan hukum tersebut bagi yang tidak hamil, bagi yang hamil dinaskh denga ayat Al-Thalaq : 4
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS. AT Thalaq/65:4)

Beberapa contoh Naskh yang lain dalam Al Qur’an
1. Mansukh ( Q.S Al Baqarah: 217) dinasikhkan dengan (Q.S At taubah: 36)
2. Mansukh (Q.S Al Baqarah: 284) dinasikhkan dengan (Q.S Al Baqarah: 286)
3. Mansukh (Q.S An Nisa: 15-16) di nasikhkan dengan (Q.S An Nur: 2)
4. Mansukh (Q.S Al Anfal:65) dinasikhkan dengan (Q.S Al Anfal:66)
5. Mansukh (Q.S At taubah:41) dinasikhkan dengan (Q.S At Taubah:91 dan 122)
6. Mansukh (Q.S Ar Rum:50) dinasikhkan dengan (Q.S Al Ahzab: 52)
7. Mansukh (Q.S Al Mujadila:12) dinasikhkan dengan (Q.S Al Mujadila: 13), dll

Q.S Al-Mujafilah:12,
Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Nasikh Q.S Al Mujadilah : 13
Artinya : Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

2.Naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah.

Naskh ini ada dua macam, yaitu naskh Qur’an dengan Hadis Ahad dan naskh Qur’an dengan Hadis Mutawatir. Dalam hal ini para ulama membatasi hanya denga sunnah mutawatir, sebagaimana menurut imam Maliki, Abu Hanifah, mazhab al-Asy’ary dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah SWT berfirman dalam Q.S An Nahl: 44, yang artinya “ Dan kami turunkan kepadamu Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”

Naskh ini ditolak oleh Imam  Syafi’i, berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah : 106,  yang artinya “Apa saja yang Kami nasakhkan , atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya”. Sedangkan Hadis tidak lebih baik atau sebanding dengan Al Qur’an.

3.Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an.

Naskh dalam semacam ini disepakati oleh jumhur ulama, dalam hal ini nabi memerintahkan kaum muslimin dalam menghadap kiblat Baitul Maqdis kemudian dinaskh oleh Al-Qur’an dalam surat Al Baqarah : 144


Artinya : Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Rabb-nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.
(QS. Al-Baqarah /2:144)

4.Naskh as-Sunnah dengan As-Sunnah.

Dalam katagori ini, ulama membolehkan, dengan ketentuan :
a.Naskh mutawatir dengan mutawatir
b.Naskh ahad dengan ahad
c.Naskh ahad dengan mutawatir
d.Naskh mutawatir dengan ahad

Ulama menyepakati dalam tiga bentuk yang pertama, sedang bentuk keempat dalam perselisihan pendapat, seperti halnya dengan Hadis Ahad yang tidak dibolehkan oleh jumhur ulama.

D.  HIKMAH ADANYA NASIKH DAN MANSUKH

Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat. Diantara hikmah adanya Nasikh Mansukh adalah.
1.Memelihara kepentingan hamba.
2.Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3.Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4.Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat, maka didalamnya terdapat tambahan pahal, dan jika beralih lebih ringan maka mengandung kemudahan dan keringanan.


Disusun : Khery Rastogi

SUMBER REFERENSI

Al Qattan, Manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, Mansyurat al ‘Asr al Hadis, 1973,  diterjemahkan oleh: AS, Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Pustaka Litera Antar Nusa, 2011
Chirzin, Muhammad, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an, Dana Bhakti Prima Yasa
Al Qur’an dan terjemah,  www.quran.com

Islam Pada Masa Abubakar Ash Shiddiq ra.

Meninggalnya Rasulullah pada usia 63 tahun, meninggalkan kesan dan pengaruh yang kuat kepada kaum muslimin. Meskipun mereka baru saja menerima fatwa-fatwa bahwa seorang nabi tidak dapat hidup selama-lamanya dan rasul akan menemui Tuhan, para sahabat sebagai pahlawan-pahlawan yang ulung dan pemberani, juga sempat panik. Banyak diantara mereka yang tidak mempercayai berita wafatnya Rasul yang datang dengan tiba-tiba.

Dengan wafatnya Rasul, maka umat islam dihadapkan dengan masalah sangat Kritis. Sebagaian dari mereka bahkan ada yang menolak Islam. Ada golongan yang murtad, ada yang mengaku dirinya sebagai nabi, golongan tidak mau membayar zakat. Sedangkan yang masih tetap patuh kepada agama Islam adalah penduduk Makkah, Madinah dan Thaif. Mereka tetap memenuhi kewajiban dan mau mengorbankan apa yang mereka miliki untuk mengembalikan kejayaan Islam.

1. Peranan Ahlul Halli Wal Aqdi

Nabi Muhammad saw. tidak meninggalkan wasiat tentang pengganti posisi beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Tampaknya Nabi Muhammad saw. menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin itu sendiri untuk menentukannya. Karena beliau sendiri tidak pemah menunjuk di antara sahabatnya yang akan menggantikannya sebagai pemimpin umat Islam, bahkan tidak pula membentuk suatu dewan yang dapat menentukan siapa penggantinya.

Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung sangat demokratis di Muktamar Tsaqifah Bani Sa’idah, memenuhi tata cara perundingan yang dikenal dunia modern saat ini. Meskipun kita ketahui telah terjadi adu argumen tentang pemangku jabatan sepeninggal Nabi Muhammad saw.
Orang-orang Anshar mengira bahwa setelah meninggalnya Rasulullah, orang-orang Muhajirin akan kembali ke Mekah. Sehingga mereka merasa membutuhkan pemimpin untuk memimpin Madinah, oleh sebab itu mereka sepakat mengajukan Sa’ad bin Ubadah.

Kaum Muhajirin menekankan pada persyaratan kesetiaan, mereka mengajukan calon Abu Ubadah ibn Jarrah. Sementara itu dari Ahlul Bait menginginkan agar Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah atas dasar kedudukannya dalam Islam, juga sebagai menantu dan karib Nabi.

Dalam keadaan yang sudah tenang, Abu Bakar berpidato, “ Ini Umar dan Abu Ubaidah, siapa yang kamu kehendaki diantara mereka berdua, maka baiatlah”.

Baik Umar maupun Abu Ubaidah merasa keberatan atas ucapan Abu Bakar dengan mempertimbangkan berbagai alasan, diantaranya adalah ditunjuknya Abu Bakar sebagai pengganti Rasul dalam imam shalat dan ini membuat Abu Bakar lebih berhak menjadi pengganti Rasulullah saw. Sebagai khalifah Abu Bakar mengalami dua kali baiat. Pertama di Saqifa Bani Saidah yang dikenal dengan Bai 'at Khassah dan kedua di Masjid Nabi Nabawi Madinah yang dikenal dengan Bai’at A 'mmah.

Beberapa faktor yang mendasari terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah, yaitu:

   1). Sebagian berpendapat bahwa seorang khalifah haruslah berasal dari suku Quraisy. Pendapat tersebut didasarkan pada hadis Nabi Muhammad saw. yang berbunyi "al-aimmah min Quraisy" (kepemimpinan itu di tangan orang Quraisy).

    2). Ketokohan pribadi Abu Bakar sebagai khalifah karena beberapa keutamaan yang dimilikinya, antara lain karena ia adalah sahabat pertama yang memeluk Islam, ia satu-satunya sahabat yang menemani Nabi saw. pada saat hijrah dari Makkah ke Madinah dan ketika bersembunyi di Gua Tsur, ia yang ditunjuk oleh Rasulullah saw. untuk mengimami shalat pada saat beliau sedang uzur,  ia keturunan bangsawan, cerdas, dan berakhlak mulia.

   3). Beliau sangat dekat dengan Rasulullah saw. baik dalam bidang agama maupun kekeluargaan. Beliau seorang dermawan yang mendermakan hartanya untuk kepentingan Islam.

Pidato pertama Abu Bakar Ash Shiddiq setelah pengangkatan sebagai khalifah.
"Wahai manusia, sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu percayakan, padahal aku bukanorang yang terbaik di antara kamu. Apabila aku melaksanankan tugasku dengan baik, bantulah aku, dan jika aku berbuat salah, luruskanlah aku. Kebenaran adalah suatu kepercayaan dan kedustaan adalah suatu pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kamu adalah orang yang kuat bagiku sampai aku memenuhi hak-haknya, dan orang yang kuat di antara kamu adalah lemah bagiku hingga aku mengambil haknya, Insya Allah. Janganlah salah seorang dari kamu meninggalkan jihad. Sesuangguhnya kaum yang tidak memenuhi panggilan jihad maka Allah akan menimpakan atas mereka suatu kehinaan. Patuhlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasl-Nya. Jika aku tidak menaati Allah dan Rasul-Nya, sekali-kali janganlah kamu menaatiku. Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kamu”.

2. Perluasan Wilayah

Kemajuan suatu pemerintahan sangat bergantung kepada pemegang kekuasaan. Abu Bakar sebagai khalifah (pemimpin Negara) yang pertama,  memberi contoh tersendiri dalam menentukan kebijakan-kebijakan di berbagai bidang yang berhubungan dengan hajat hidup masyarakat yang dipimpinnya. Demikian pula dalam mengatasi berbagai krisis dan gejolak yang muncul dalam pemerintahannya.

Meskipun masa kepemimpinanya tidak berlangsung lama, hanya berkisar dua  tahun 3 bulan, namun banyak hal yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq.

a. Pemberangkatan Pasukan Usamah bin Zaid Sesuai Pesan Rasulullah
Sebelum Rasulullah wafat, beliau mempersiapkan satu pasukan untuk memerangi orang-orang Romawi di Balqa’ (Yordania) yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid bin Haritsah yang berumur 18 Tahun, dan beberapa sahabat senior. Namun pasukan itu gagal berangkat karena Rasulullah sedang sakit. Akhirnya pada masa kepemimpinan Abu bakar, beliau mengimplementasikan sesuai dengan perintah Rasulullah.
Meskipun banyak sahabat yang mengusulkan untuk tidak memberangkatkan pasukan tersebut, namun mereka berangkat dengan hasil kemenangan yang gemilang. Hal tersebut menampakkan kepada semua pihak bahwa kekuatan Islam masih tetap kokoh dan sulit dikalahkan. Meskipun saat itu keadaan umat Islam belum stabil sepeninggal Rasulullah.

b. Perang Yamamah (11H/632M)
Pasukan Khalid bin Walid meneruskan perjalanan ke Bani Hanifah di Yamamah. Seseorang yang bernama Musailamah al-Kadzab mengaku dirinya sebagai nabi. Pertempuran dari keduanya berlangsung sengit yang akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin, Musailamah terbunuh. Penduduk daerah tersebut akhirnya bertobat dan kembali kepada ajaran Islam.
Dalam peperangan ini, sejumlah sahabat mati syahid. Diantara mereka adalah 70 penghafal Al-Qur’an. Inilah awal mula kekhawatiran akan hilangnya Al-Qur’an karena banyak diantara penghafal Al-Qur’an yang gugur dalam medan perang. Setelah tunduknya beberapa wilayah oleh pasukan Islam, baik melalui peperangan ataupun tidak, kondisi Jazirah Arab mulai stabil.

c. Penaklukan Wilayah Timur (Persia)
Peria mendominasi wilayah yang sangat luas, meliputi Irak, bagian barat Syam, bagian utara jazirah Arab. Disamping itu, sejumlah besar kabilah-kabilah Arab juga tunduk di bawah kekuasaan mereka. Kabilah-kabilah ini bekerja dengan dukungan dari Kaisar Persia.
Untuk melakukan jihad di wilayah ini, Abu Bakar mengangkat Khalid bin Walid dan Mutsanna bin Haritsah sebagai panglima. Mereka mampu memengangkan peperangan dan membuka Hirah serta beberapa kota di Irak. Diantaranya adalah Anbar, Daumatul Jandal, Faradh, dll. Setelah itu khalifah Abu Bakar memerintahkan kepada Khalid bin Walid untuk bergabung dengan pasukan Islam yang ada di Syam.

d. Penaklukan Wilayah Barat (Romawi)
Pasukan yang diberangkatkan oleh Abu bakar adalah:
1). Pasukan dibawah pimpinan Yazid bin Abu Sufyan ke Damaskus
2) Pasukan dibawah pimpinan ‘Amr bin Ash ke Palestina
3) Pasukan di bawah pimpinan Syarahbil bin Hasanah ke Yordania
4) Pasukan di bawah pimpinan Abu Ubaidah ibnul-Jarrah ke Hims. Jumlah pasukannya 12.000 pasukan, dan pasukan Ikrimah  sebagai pasukan cadangan berjumlah 6.000 orang. Pasukan Romawi menyambut dengan jumlah 240.000 personel.

Selain keempat pasukan tersebut, Khalid bin Walid diperbantukan untuk bertempur di front Siria.
Keputusan-keputusan yang dibuat oleh khalifah Abu Bakar untuk membentuk beberapa pasukan tersebut, dari tata Negara menunjukkan bahwa Ia juga memegang jabatan panglima tertinggi tentara Islam. Disisi lain fakta tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinannya telah berhasil dalam menghadapi berbagai ancaman dan krisis yang timbul baik berasal dari dalam maupun luar.

      e. Permulaan Perang Yarmuk (13H/634M)
Khalifah Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Walid untuk segera berangkat bersama pasukannya menuju Syam. Perjalanan selama 18 hari melewati padang sahara akhirnya sampai di Syam dan bergabung dengan kaum muslimin hingga mencapai 26.000 personil.
Strategi kemudian diatur untuk pertempuran yang terjadi di pinggiran sungai Yordania yang disebut Yarmuk. Dalam keadaan perang yang sangat sengit, datang kabar bahwa khalifah Abu Bakar meninggal dunia dan Umar bin Khattab menjadi penggantinya. Khalid bin walid diturunkan posisinya dari panglima perang dan digantikan oleh Abu Ubaidah ibnul-Jarrah. Keduanya saling bekerja sama untuk melanjutkan perang, meskipun Khalid bin Walid diturunkan dari jabatannya tetapi tidak menurunkan semangat untuk berperang dengan serius dan ikhlas.


3. Pemberontakan  Orang-orang Murtad

Sebagai khalifah pertama, Abu Bakar dihadapkan pada kekacauan masyarakat sepeninggal Muhammad saw. Ia bermusawarah dengan para sahabat untuk menentukan tindakan yang harus diambil dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Meski terjadi perbedaan pendapat tentang tindakan yang akan dilakukan dalam kesulitan yang memuncak tersebut,kelihatan kebesaran jiwa dan ketabahan hatinya.

Munculnya orang-orang murtad disebabkan oleh keyakinan mereka terhadap ajaran Islam belum begitu mantap, dan wafatnya Rasulullah SAW menggoyahkan keimanan mereka. Mereka beranggapan bahwa kaum Quraisy tidak akan bangun lagi setelah Nabi Muhammad saw. wafat. Dan mereka merasa tidak terikat lagi dengan agama Islam lalu kembali kepada ajaran agama sebelumnya.

Seluruh jazirah Arab murtad dari agama Islam kecuali Makkah, Madinah, dan Thaif. Kemurtadan mereka karena mereka kembali kepada kekufuran lamanya dan mengikuti orang-orang yang mengaku sebagai Nabi. Sebagian yang lain hanya tidak mau membayar zakat.

Para sahabat menasihati Abu Bakar untuk tidak memerangi mereka karena kondisi umat Islam yang sangat sulit dan sebagian pasukan sedang diberangkatkan perang melawan tentara Romawi. Namun Abu Bakar menolak usulan mereka, dia mengatakan “Demi Allah, andaikata mereka tidak menyerahkan tali unta yang pernah mereka serahkan kepada Rasulullah, pasti aku berjihad melawan mereka”

Untuk memerangi kemurtadan, Abu bakar  membentuk sebelas kelompok tentara perang. Sebelum pasukan dikirim ke daerah yang ditinjau, terlebih dahulu dikirim surat yang menyeru kepada mereka agar kembali kepada ajaran Islam, namun tidak mendapat sambutan. Abu Bakar memilih sahabat-sahabat senior untuk memimpin pasukan. Misalnya Khalid bin Walid memimpin untuk memerangi Bani Asas, Ghatfan, dan Amir. Khalid Bin Walid berhasil menaklukan mereka yang mengaku Nabi dan pengikutnya, diantaranya Thulaid bin Khuwalid al-Asadi dan Malik bin Nuwairah yang akhirnya tewas.

4. Peradaban pada Masa Abu Bakar
 
    1) Penghimpunan Al-Qur’an
Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk menghimpun Al-Qur’an dari pelepah kurma, kulit binatang, dan dari hapalan kaum muslimin. Usaha ini dilakukan untuk menjaga kelestarian Al-Qur’an setelah syahidnya beberapa orang penghafal Al-Qur’an pada saat perang Yamamah. Umarlah yang pertama mengusulkan untuk menghimpun Al-Qur’an. Sejak itulah pertama kalinya AL-Qur’an dikumpulkan dalm satu mushaf.

     2) Dalam Praktik Pemerintahan
Dalam pranata sosial ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Untuk kemaslahatan rakyat, Ia mengelola zakat, infak, dan sedekah (baitul mal) yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah harta rampasan perang, dan jizyah dari warga non muslim. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar tidak pernah menggunakan uang dari Baitul Mal untuk kepentingannya sendiri. Selama menjadi khalifah, Beliau tetap berdagang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Atas inisiatifnya sendiri, Abu Bakar menunjuk Umar bin Khatab sebagai pengganti khalifah periode berikutnya. Adapun alasan utamanya adalah menghindari perpecahan antar umat muslim, seperti yang terjadi sepeninggal Rasulullah saw. Dari penunjukan Umar sebagai pengganti khalifah Abu Bakar, ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
- Abu Bakar dalam menunjuk Umar tidak meninggalkan asas musyawarah. Beliau lebih dahulu mengadakan konsultasi untuk mengetahui aspirasi rakyat melalui tokoh-tokoh kaum muslimin.
- Abu Bakar tidak salah seorang putranya atau kerabatnya, melainkan memilih seseorang yang mempunyai nama dan mendapat tempat di hati masyarakat serta disegani oleh rakyat karena sifat-sifatnya yang terpuji.
- Pengukuhan Umar menjadi khalifah sepeninggal Abu Bakar berjalan dengan baik dalam satu bai’at umum dan terbuka tanpa ada pertentangan di kalangan kaum muslimin.
Abu Bakar meninggal dunia pada bulan Jumadil Akhir tahun 13H/634M. Setelah sebelumnya beliau menuliskan wasiat atas pengangkatan Umar dan membai’atnya sebagai khalifah berikutnya.

Oleh: Khery Rastogi

REFERENSI

Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX), Jakarta: 2011
Dedy Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: 2008
http://kafeilmu.com/2012/02/islam-pada-masa-khalifah-abu-bakar-ash-shiddiq.html
http://id.shvoong.com/humanities/history/2269122-perkembangan-islam-pada-masa-abu/#ixzz2DO9FKgJW
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/10/kemajuan-islam-pada-masa-abu-bakar-as.html

Ulumul Hadis: Hadis Mawdhu

Sebelum Hadits Nabi dihimpun dalam kitab-kitab Hadits secara resmi, Hadits Nabi pada umumnya diajarkan dan diriwaayatkan secara lisan dan hafalan. Walaupun kegiatan pencatatan Hadits oleh para ulama masa itu, sudah ada untuk kepentingan pribadi. Hadits Nabi yang belum terhimpun dalam suatu kitab dan kedudukan Hadits yang sangat penting dalam sumber ajaran Islam, telah dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab oleh orang-orang tertentu. Mereka membuat Hadits palsu berupa pernyataan-pernyataan yang mereka katakana berasal dari Nabi, sedangkan Nabi sendiri tidak pernah menyatakan demikian.

Pemalsuan Hadits tampak berkembang pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib (40H/661M). Pertentangan politik yang terjadi pada masa khalifah Ali turut menumbuhkan pesatnya pemalsuan Hadits. Berdasarkan sejarah, pemalsuan hadits tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam tetapi juga oleh kaum non muslim dan kalangan murtaddin.

Setelah masa Tabiin, pemalsuan Hadits semakin bertambah banyak dan meluas mencakup seluruh bidang kehidupan. Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap kredibilitas Hadits sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Quran. Namun hal tersebut dapat diatasi oleh para ulama Hadis dengan melakukan kritik Sanad dan Matan Hadits, sehingga dapat diketahui tanda-tanda Hadits palsu sebagai kaidah untuk mendeteksi kepalsuannya.

A. PENGERTIAN HADITS MAWDHU

Kata Mawdhu dapat berarti diletakkan, dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan, dan dibuat-buat. Pengertian Mawdhu menurut terminology ulama Hadits adalah Sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sampaikan, beliau kerjakan, ataupun beliau taqrirkan
Nurudin Al-Atar menjelaskan bahwa yang dipalsukan sama sekali tidak ada hubungannya dengan Rasulullah, lafadz itu bukan Hadits, tetapi menurutpemikiran perawinya adalah Hadits. Lafadz yang dikira Hadits itu banyak dari perkataan ahli hikmah, peribahasa, atau atsar sahabat yang dinisbatkan para pendusta kepada Rasul SAW.

Menurut Subhi Al-Shalih bahwa sebagian besar yang dipalsukan adalah dari perkataan para pemalsu sendiri, dengan gaya bahasa dan sanad yang disusun sendiri. Apabila mereka tidak dapat membuat imajinasi yang dapat diterima, sebagian mereka adakalanya membuat sanad-sanad palsu yang sampai kepada Rasulullah, kemudian meletakkan kata hikmah, peribahasa, atau atsar sahabat pada sanad tersebut. Dari pendapat tersebut diketahui terdapat dua cara pemalsuan Hadits, yaitu pemalsuan sanad dan matan Hadits.

Ibn Alwi Al-Maliki Al-Hasani mengatakan bahwa Hadits Mawdhu adalah Berita yang dibuat-buat yang disandarkan kepada Rasul SAW dengan sengaja berdusta atas namanya, atau atas nama sahabat dan tabiin. Dapat dikatakan bahwa yang termasuk kategori Hadits Mawdu bukan hanya yang disandarkan kepada Nabi saja, tetapi kepada para sahabat dan tabiin.

B. AWAL MUNCUL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI

Awal terjadinya Hadits Mawdhu muncul setelah terjadi konflik antar elit politik dan antara dua pendukung Ali dan Muawiyah. Umat Islam menjadi terpecah dalam 3 kelompok, yaitu Syiah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin atau Sunni. Masing-masing mengklaim bahwa kelompoknya yang paling benar sesuai ijtihad mereka. Masing-masing ingin mempertahankan kelompoknya dan mencari simpatisan masa yang lebih besar dengan mencari dalil Quran dan Hadits Rasul. Jika tidak didapatkan ayat atau hadis yang mendukung kelompoknya, maka mereka mencoba mentawilkan dan memberikan interpretasi yang terkadang tidak layak.

Mayoritas faktor penyebab munculnya Hadits Mawdhu adalah karena tersebarnya bidah, fitnah, dan pertikaian. Hadits Mawdhu timbul dari sebagian kelompok  orang-orang bodoh yang bergelut dalam bidang politik atau mengikuti hawa nafsunya untuk menghalalkan segala cara.

Beberapa faktor penyebab terjadinya Hadits Mawdhu adalah:
Hadits palsu yang disandarkan kepada Nabi SAW dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu : Pemalsuan Hadits yang tidak disengaja, hal ini karena kekhilafan atau kekurang hati-hatian. Hadits ini biasa disebut Hadits Bathil. Dan Pemalsuan Hadits yang disengaja, yang disebut dengan Hadits Mawdhu.

Faktor-faktor penyebabnya adalah
1. Faktor Politik
Awal Hadits Mawdhu timbul akibat dampak konflik internal antar umat Islam yang kemudian menjadi terpecah ke beberapa sekte. Dalam sejarah, sekte pertama yang menciptakan Hadits Mawdhu adalah Syiah. Hal ini diakui sendiri oleh orang Syiah sendiri, misalnya seperti kata Ibnu Abu Al-Hadid dalam Syarah Nahju Al-Balaghah, bahwa asal  usul kebohongan dalam hadis-hadis tentang keutamaan adalah sekte Syiah, mereka membuat beberapa Hadits Mawdhu untuk memusuhi lawan politiknya.

Di antara kepentingan Syiah dalam membuat Hadits Mawdhu adalah menetapkan wasiat nabi bahwa Ali orang yang paling berhak menjadi khalifah setelah beliau, Wasiatku, tepat rahasiaku, khalifahku pada keluargaku, dan sebaik orang yang menjadi khalifah setelahku adalah Ali. Atau Hai Ali! Sesungguhnya Allah mengampunimu, anak keturunanmu, kedua orangtuamu, keluargamu, dan orang-orang yang menghidupkan Syiahmu.

Kemudian dibalas oleh sekte Sunni, dengan hadis yang diMawdhu-kan pada Abdullah bin Abu Aufa berkata Aku melihat Nabi duduk bersandar pada Ali kemudian Abu Bakar dan Umar datang maka Nabi bersabda: Hai Abu Al-Hasan! Cintai mereka, maka dengan mencintai mereka engkau masuk surga
Selain itu pendukung Muawiyah membuat Hadits, Orang-orang terpercaya di sisi Allah ada tiga: Aku, Jibril, dan Muawiyah

Diluar kelompok-kelompok tersebut muncul pula kelompok lain sebagai reaksi terhadap mereka, dengan mengambil posisi netral. Mereka juga membuat hadis palsu yang mendukung keutamaan para sahabat dan ketinggian status mereka, misalnya: Abu bakar adalah menteriku dan yang memegang urusan umat setelahku, Umar adalah kekasihku yang berbicara atas lidahku. Aku dari Utsman dan Utsman dariku. Sedang Ali adalah saudaraku dan pembawa panjiku.
Sekte Khawarij lebih bersih dari pe-mawdhu-an hadis, karena menurut mereka, bohong termasuk dosa besar dan pelaku dosa besar dihukumi kafir. Oleh karena itu, mereka yang paling bersih dalam periwayatan hadis. Sebagaimana kata Abu Dawud: Tidak ada diantara kelompok hawa nafsu yang lebih shahih hadisnya daripada Khawarij.

2. Usaha Kaum Zindik
Golongan zindik adalah golongan yang merusak Islam dari dalam, dengan berpura-pura masuk Islam. Dengan menyatakan masuk Islam mereka memiliki peluang-peluang, seperti menyebarkan fitnah, mengobarkan api permusuhan di kalangan umat Islam sendiri, menciptakan keraguan terhadap ajaran, dan merusak sumber ajaran dengan kebohongan mereka.

Pada masa itu, kekuasaan Islam telah mampu mengalahkan dua Negara adikuasa, yaitu Kisra dan Qaishar serta mampu meredam raja-raja dan para amir yang bertindak sewenang-wenang kepada wilayah kekuasaan mereka dengan cara menyiksa, menjarah, dan menjadikan budak warganya. Dengan tersebar luasnya Islam, memberikan rasa kemerdekaan dan perlakuan manusiawi bagi para warga, sedangkan para penguasa merasa kehilangan kekuasaan dan status, serta kehilangan kesempatan memanipulasi rakyatnya. Mereka tidak kunjung mendapatkan posisi baru, sehingga mereka mendekati Islam dengan berbagai cara. Dengan bertujuan menjauhkan masyarakat dari akidah Islam, mereka membuat hadis palsu meskipun gagal oleh kekuatan Islam.

Diantara hadis palsu yang dibuat kaum zindik adalah: Bahwa sekelompok Yahudi datang kepada Rasul SAW, lalu berkata: siapa yang menyangga Arsy? mereka menjawab: Arsy disangga oleh singa dan taring-taringnya. Mereka berkata: Kami bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah SAW. Abu Al-Qasim Al-Balkhi berkata: Demi Allah, ini jelas palsu, sebab kaum muslimin telah sepakat bahwa yang menyangga Arsy adalah para malaikat.

3. Perbedaan Ras, Fanatisme Kabilah, Negara dan Pimpinan
Contoh hadis mawdhu dari bangsa Persia adalah: Sesungguhnya bahasa makhluk disekitar Arsy dengan bahasa Persia.
Lalu muncul hadis dari lawannya yang fanatik dengan bahasa Arab. Mereka menyatakan: Bahasa yang paling dimurkai Allah adalah bahasa Persia dan bahasa penghuni surga adalah bahasa Arab.
Fanatisme terhadap suatu madzhab juga memunculkan hadis mawdhu. Seperti mereka yang fanatik terhadap madzhab Hanafi, mereka menyatakan: Ada pada umatku seorang laki-laki bernama Muhammad bin Idris lebih bahaya atas umatku dari pada iblis dan ada pada umatku seorang laki-laki bernama Abu Hanifah dia menjadi pelita umatku.  
Adapula hadis palsu yang menyatakan keutamaan suatu Negara, Empat kota yang termasuk kota-kota si surga adalah Makkah, Madinah, Baitul Maqdis, dan Damaskus.

4. Qashshash (Tukang Cerita) Menarik Simpati Kaum Awam
Sebagian ahli cerita mengumpulkan orang lalu mendongeng, dengan membuat hadis palsu agar menarik perhatian dan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mendapatkan uang. Qashshash popular pada abad ke-3H, mereka duduk di Masjid, pinggir jalan, dan keramaian. Mereka terdiri dari kaum Zindik dan orang-orang yang berpura-pura menadi orang alim.

Tukang cerita tersebut membuat hadis dengan menyertakan sanad, yang seolah-olah hadis itu benar-benar dari Rasul. Kedustaan mereka seperti diungkapkan oleh Abu jafar Muhammad Ath-Thayalisiy, berkata: Ahmad Ibn Hambal dan Yahya Ibn Main shalat di masjid Rashafah. Kemudian datang tukang cerita dihadapan jamaah, ia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Ahmad Ibn Hambal dan Yahya Ibn Main, keduanya berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Abdur Razaq dari Mamar dari Qatadah dari Anas, katanya: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa mengucapkan La Ilaha Illallah, maka Allah akan menciptakan suatu burung dari setiap katanya, yang paruhnya dari emas dan bulunya dari marjan.

5. Perbedaan Madzhab dan Teologi
Masalah perbedaan (khilafiyah) baik dalam Fiqih atau Teologi mendorong terbuatnya hadis mawdhu yang dilakukan oleh sebagian pengikut madzhab yang fanatic dalam madzhabnya. Contoh pemalsuan hadis adalah:  Barangsiapa yang mengangkat tangannya ketika ruku maka tiadalah shalat baginya.

6. Senang Kebaikan Tanpa Pengetahuan Agama yang Cukup
Sebagian orang Shaleh dan Zuhud melihat kesibukan masyarakat terhadap dunia dan meninggalkan akhirat. Kemudian mereka membuat hadis palsu berkenaan dengan Targhib (mendorong untuk berbuat baik atau kabar gembira), dan Tarhib (mencegah dari berbuat jahat atau ancaman). Beberapa pembuat hadis ini adalah Nuh ibn Abi Maryam, Ghulam Khalil, dan Masyarah bin Abdu Rabbih.

7. Menjilat atau Mencari Muka kepada Penguasa
Para membuat hadis palsu dalam kelompok ini bertujuan untuk lebih dekat dengan penguasa. Mereka menciptakan hadis untuk berbagai hal yang dissenangi penguasanya. Misalnya yang dilakukan Ghiyats bin Ibrahim An NakhaI ketika masuk ke istana Al Mahdi yang sedang bermain burung, Ghiyats berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada perlombaan kecuali pada anak panah, atau unta, atau kuda, dan atau pada burung. Pada mulanya ungkapan itu memang hadis dari Rasul, tetapi aslinya tidak ada kata burung.

C. KRITERIA KEPALSUAN SUATU HADITS
Kepalsuan hadis dapat diketahui dari sanad dan matan
Tanda-tanda kepalsuan Hadis pada Sanad
1). Pengakuan Pembuatnya Sendiri
Seperti pengakuan Abdul karim bin Abu Al-Auja ketika akan dihukum mati ia mengatakan: Demi Allah aku palsukan padamu 4000 buah hadis. Di dalamnya aku haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram. Maysarah bin Abdi Rabbih Al-Farisi mengaku membuat 70 hadis palsu. Demikian juga Abu Ishmah bin Maryam juga mengaku banyak membuat hadis palsu.
   
2).Terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa seorang periwayat adalah pembohong. Misalnya periwayat mengaku mendapatkan suatu hadis dari seorang syekh, tapi ternyata syejh tersebut sudah meninggal sebelum ia lahir.
   
3) Perawi yang dikenal sebagai pendusta meriwayatkan suatu hadis seorang diri, dan tidak ada perawi lain yang Tsiqah yang meriwayatkannya.
  
 4) Kepalsuan hadis juga dapat diketahui dari keadaan perawi dan dari dorongan-dorongan psikologisnya.
Tanda-tanda Kepalsuan Hadis pada Matan
a. Lemah susunan lafal dan maknanya.
Banyak hadis-hadis yang lemah susunan bahasa dan maknanya. Seorang yang ahli dalam bahasa dan sastra dapat membedakan mana hadis yang benar-benar dari Rasul dan mana yang palsu.
b. Rusaknya makna
Misalkan hadis-hadis yang dapat dirasakan kedustaan dengan perasaan atau akal sehat, seperti: Terong merupakan obat segala penyakit atau Memandang wajah yang cantik dapat menerangkan mata dan memandang wajah yang jelek menyebabkan sedih
c. Bertentangan dengan Al-Quran, dan Hadis Mutawatir
Misalnya: Usia dunia itu tujuh puluh tahun lagi. Bertentangan dengan ayat Al-Quran, bahwa kiamat itu hanya Allah yang mengetahuinya (Al-Araf:187)
d. Menyalahi realita sejarah
Misalnya hadis yang menjelaskan bahwa Nabi memungut jizyah (pajak) pada penduduk khaibar dengan disaksikan oleh Saad bin Muadz. Padahal Saad telah meninggal pada masa perang Khandaq sebelum kejadian tersebut.
e. Mengandung pahala yang berlebihan bagi amal kecil
Biasanya disampaikan oleh ttukang cerita yang ingin menarik pendengar untuk beramal shaleh, Misalnya: Baran siapa yang shalat dhuha sekian rakaat diberiakan pahala 70 Nabi.
f. Hadis yang isinya sesuai dengan pendapat madzhab periwayatnya, sedangkan periwayat tersebut dikenal sangat fanatic terhadap madzhhabnya itu.
g. Sahabat dituduh menyembunyikan hadis
Misalnya, Nabi memegang tangan Ali bin Abi Thalib di hadapan para sahabat semua, kemudian bersabda: Ini wasiatku dan saudaraku dan khalifah setelah aku.
Seandainya itu benar-benar hadis dari Nabi, maka banyak diantaa sahabat yang meriwayatknnya. Tidak mungkin para sahabat diam dan tidak meriwayatkan hadis tersebut, terlebih masalah kepemimpinan.
Disadari betapa sulitnya mendeteksi hadis palsu yang telah tersebar dengan berbagai Sanad yang berbeda. Namun, berkat ketekunan dan kegigihan para ulama Hadits dalam meneliti Hadits, akhirnya dapat tersusun beberapa kitab Hadits yang memuat dan menghimpun Hadits palsu sebagai pengetahuan yang berguna untuk meningkatkan kewaspadaan atas bahaya Hadits palsu. 

Beberapa upaya para ulama dalam menyelamatkan Hadits Nabi adalah:
* Berpegang pada Sanad, yaitu mengharuskan penyertaan penyebutan Sanad dalam setiap periwayatan.
* Meningkatkan semangat ilmiah dan ketelitian dalam meriwayatkan Hadits. Setiap Hadits yang beredar diteliti secermat mungkin, dengan serius dan hati-hati
* Melakukan gerakan pembasmian terhadap pemalsu hadits, menjelaskan kepada masyarakat siapa saja yang melakukan pemalsuan hadis, dan menyuruh untuk menjauhinya.
* Menjelaskan hal ihwal para perawi hadits selengkap-lengkapnya agar diketahui masyarakat luas
* Menetapkan kaidah-kaidah untuk mengetahui Hadits-hadits mawdhu, baik pada Matan auatupun Sanad
* Selain itu juga dilakukan:
   Pembukuan Hadits, Pembentukan Ilmu-ilmu Hadits yang menelusuri berbagai bidang, Menghimpun biografi para periwayat Hadits, dan Perumusan istilah-istilah Hadits.

Beberapa Tokoh Hadits Mawdhu
Abban ibn Jafar Al-Numayri, Ibrahim ibn Zaid Al-Aslami, Ahmad ibn Abdullah Al-Juwaybari, Jabir ibn Yazid A-Jafi, Muhammad ibn Syuja Al-Laitsi, Nuh ibn Abu Maryam, Al-Harits ibn Abdillah Al-Awar, dll..
Beberapa kitab hadis yang memuat Hadits Mawdhu
Tadzkirah Maudhuat, karya Abu Al-Fadhl Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi
Al-Maudhuat Al-Kubra, karya Abu Al-Faraj Abdurrahman ibn Al-Jauzi
Al-Baits alal Khalash min Hawadits Al-Qashashash, karya Al-Hafizh Zainuddin Abdurrahim Al-Iraqi
Risalah, karya Imam Al-Syanani,   dll


Sumber Referensi
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, 2008, Jakarta: AMZAH
Abduh Almanar, Studi Ilmu Hadis, 2011, Bogor: Gaung Persada Press

Oleh: khery, Azis, Dhani

Sejarah Perkembangan dan Cabang Cabang Ulumul Hadis

Hadits adalah sumber ajaran Islam setelah Al Quran yang bersumber dari Rasulullah SAW, berupa siafat-sifat, ucapan, perbuatan, ataupun taqrir. Berbagai permasalahan muncul setelah Rasulullah SAW wafat, dikarenakan larangan penulisan Hadits di masa Rasulullah SAW. Dengan larangan penulisan hadits, maka para sahabat hanya mengandalkan hafalan, hal tersebut menjadi kelemahan bagi para shahabat  yang hafalannya lemah. Selain itu, penerimaan hadits dari Rasulullah SAW juga beragam, tidak semua sahabat menerima hadits dalam waktu bersamaan.

Keadaan tersebut menuntut para ulama bekerja keras, melakukan penelitian secara ketat terhadap Hadits Rasulullah SAW. Terlebih banyaknya hadits palsu (maudhu) yang bermunculan dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Para ulama membuat kaidah-kaidah, ketentuan-ketentuan, dan acuan untuk menilai hadits-hadits yang ada. Kaidah, ketentuan dan acuan  tersebut yang dikembangkan menjadi ilmu hadits.
Ilmu hadits sudah ada sejak periode Rasulullah SAW. Para Sahabat memahami segala ucapan dan perbuatan, serta mendengarkan dan menyimak pesan atau nasihat Nabi SAW. Para sahabat memelihara hadits dari Nabi dengan menghafal dan menyampaikan dengan hati-hati kepada sahabat lain atau para Tabiin. Begitu juga para Tabiin, mereka memahami, memelihara, dan menyampaikan kepada Tabiin lain atau Tabi Tabiin (generasi sesudahnya).

A. PENGERTIAN ULUMUL HADITS
Ilmu Hadits (Ulumul Hadits), secara bahasa berarti ilmu-ilmu tentang hadits. Kata ulum adalah bentuk jamak dari kata ilmu (ilmu).
Secara etimologis, seperti diungkapkan oleh As-Suyuthi, ilmu hadits adalah Ilmu pengetahuan yang membicarakan cra-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul SAW, dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut ke-dhabit-an dan ke-adila-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya
Secara garis besar, ulama hadis mengelompokkan ilmu hadis tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.

1. Ilmu Hadits riwayah
Definisi ilmu hadits riwayah menurut itr, adalah Ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat Nabi SAW, periwayatannya, dan penelitian lafadz-lafadznya
Objek kajian ilmu hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, Sahabat, dan Tabiin, yang meliputi:
~ Cara periwayatannya, yaitu cara penerimaan dan penyampaian hadits dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain.
~ Cara pemeliharaan, yaitu penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadits. Ilmu ini tidak membicarakan hadis dari sudut kualitasnya, seperti tentang adalah(ke-adil-an) sanad, syad (kejanggalan), dan illat (kecacatan) matan.
Tujuan Ilmu Hadits riwayah adalah memelihara hadis Nabi SAW dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam penulisan dan pembukuan. Selain itu ilmu hadits riwayah bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri tauladan, sesuai firman Allah SWT dalam Q.S Al Ahzab (33) :21 Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

2.  Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu Hadits Dirayah, biasa disebut Ilmu Mushthalah Hadits, Ilmu Ushul Al-Hadits, dan Qawaid At Tahdits. At Turmudzi mendefinisikan sebagai Undang-undang atau kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi, dan lain-lain. (2)
Ulama yang lain mengatakan bahwa, Ilmu Hadits Dirayah adalah  Ilmu pengetahuan yang berisi tentang kaidah-kaidah unuk mengetahui keadaan sanad dan matan
Daridefinisi diatas, dapat diketahui bahwa yang menjadi obyek Ilmu Hadits Dirayah adalah Sanad dan Matan. Dari segi sanad diteliti tentang keadilan dan kecacatannya, bagaimana mereka menerima dan menyampaikan hadis. Dari segi matan, diteliti tentang kejanggalan atau tidaknya, sehubungan dengan adanya nash-nash lain yang berkaitan dengannya.
Dapat disimpulkan bahwa, manfaat mempelajari Ilmu Hadits Dirayah adalah:
~ Dapat mengetahui pertumbungan dan perkembangan Hadits dari masa Rasul SAW hingga sekarang.
~ Dapat mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadits
~Dapat mengetahui kaidah-kaidah yang dipakai para ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut
~ Dapat mengetahui istilah-istilah dan criteria hadits sebagai pedoman dalam mendapatkan suatu hokum syara.

B. PERKEMBANGAN ULUMUL HADITS
Pada masa  sahabat dan masa tabiin, kebutuhan akan ilmu semakin terasa. Ini disebabkan karena Rasul SAW sudah wafat, sehingga diperlukan adanya tolak ukur untuk menguji kebenaran suatu hadis, terutama hadis yang hanya didengar atau disampaikan oleh seseorang saja, lebih-lebih ketika umat islam memulai upaya mengumpulkan hadis.
Pada masa tabiin, ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadis ialah Syihab az-Zuhri (51-124 H). Ini diperlukan sehubungan dengan keahliannya dalam bidang hadis dan kedudukan dirinya sebagai pengumpul hadis atas perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd Al-Aziz. Dari sini, ilmu hadis mulai terlihat keberadaannya, meskipun dalam bentuk kaidah-kaidah yang sederhana. (3)
Pada perkembangan berikutnya, kaidah-kaidah tersebut semakin dikembangkan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Dalam hal ini, dapat dilihat misalnya para ulama/imam mazhab fikih yang juga turut membicarakan dan menyusun ilmu ini. Kemudian, lebih berkembang lagi dengan hadirnya para ulama mudawwin hadis, seperti Malik bin Anas, al Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tutmudzi, an-NasaI, dan Ibn Majah. Meskipun karya-karya mereka masih berserakan dalam bentuk risalahnya-risalahnya.
Setelah itu, muncul Abu Nuaim Ahmad bin Abdillah al-Asfahani (336-430H) dengan kitabnya al-mustakhraj ala Marifah Ulama al-Hadits. Dalam kitab ini mengemukakan kaidah-kaidah temuannya yang tidak terdapat dalam kitab Marifah Ulama al-Hadits karya al-Hakim. Berikutnya, Al Khatib al-Bagdadi Abu Bakar Ahmad bin Ali (463 H) dengan kitabnya yang terkenal ialah Al-Kifayah fi Quwanin ar-Riwayah. Kitab ini berisi berbagai uraian ilmu hadis dan kaidah-kaidah periwayatan. Karya lainnya ialah Al-Jamili Adabi Asy-Syekh wa as-Sami. Menurut Abu Bakar bin Nuqtah, para ulama muhadisin yang menyusun ilmu ini setelah al-Khathib al-Bagdadi, menginduk pada kitabnya.
Masa penyempurnaan penyusunan Ilmu Hadits dimulai Abad ke-7 sampai Abad ke-10H. Dimasa ini telah dihasilkan beberapa karya dalam Ilmu Hadits, salah satu yang terkenal adalah Ulum Al Hadits yang dikenal dengan sebutan Muqaddimah Ibn Al-Sholah, karya Abu Amr Usman bin Abdurrahman Asy Syahrazuri. Kitab ini selanjutnya diberi Syarah dan dibuat mukhtasarnya oleh ulama generasi berikutnya.
Selain masa kemajuan Ilmu Hadits, juga terjadi masa kemunduran pada Abad ke-11 hingga beberapa tahun lamanya. Pada masa tersebut, hampir tidak ditemukan ijtihad dan penyusunan Ilmu hadits oleh para ulama. Pada akhirnya kitab-kitab Ilmu Hadits kembali bermunculan. Beberapa diantaranya adalah: Qawaid At-Tahdits oleh Jamaluddin Al Qasimi, Tarikh Futun Al-Hadits oleh Abdul Azis Al Khauli, dan beberapa karya Ilmu Hadits yang lain.

C. CABANG-CABANG ULUMUL HADIS
Banyak sekali cabang ilmu hadis maka para ulama meng hitungnya beragam. Ibnu Ash-Shalah menghitungnya ada 65 cabang dan ada pula yang menghitungnya 10 hingga 6 cabang,tergantung kebutuhan atau kepentingan penghitung itu sendiri.Ada yang menghitungnya secara terperinci dan secara global.
Cabang-cabang ilmu hadis yang terpenting baik dilihat dari segi sanad dan matan dapat di bagi menjadi beberapa macam cabang, antara lain : (4)
1) Ilmu Rijal Al-Hadits
Adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitas mereka sebagai perawi. Ilmu Rijal Al-hadits dibagi menjadi dua, yaitu Ilmu Tawarikh Ar-Ruwah dan Ilmu Al-Jarh wa Tadil.
~ Ilmu Tawarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang mempelajari waktu yang membatasi keadaan kelahiran, wafat, peristiwa/kejadian dan lain-lain.
Ilmu Tawarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang hal keadaan para perawi hadis dan biografinya dari segi kelahiran dan kewafatan mereka,siapa guru-gurunya atau siapa mereka menerima sunnah dan siapa murid-muridnya atau kepada siapa mereka menyampaikan periwayatan hadits,baikdari kalangan para sahabat,tabiin, dan taabi tabiin. Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung (muttashil) atau tidaknya sanad suatu hadits.
~ Ilmu Al-Jarh wa At-Tadil
Dr.Shubhi Ash-Shalih memberikan definisinya yaitu :Ilmu Al-Jarh wa At-Tadil adalah ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka,dari apa yang mencela mereka atau yang memuji mereka dengan menggunankan kata-kata khusus.
Jadi ilmu ini membahas tentang nilai cacat (al-jarh) atau adilnya (at-tadil) seorang perawi dengan menggunakan ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki hirarki tertentu. Tujuan ilmu ini untuk mengetahui sifat atau nilai keadilan,kecacatan dan atau ke-dhabith-an (kekuatan daya ingat) seorang perawi hadits.
2) Ilmu Ilal Al-hadits
Dalam bahasa al-illah diartikan al-maradh = penyakit. Dalam istilah ilmu hadits Ilmu Ilal Al-Hadits adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat pada hadits sementara lahirnya tidaknampak adanya cacat tersembut.
Tujuan mempelajari ilmu ini adalah untuk mengtahui siapa diantara periwayat Hadits yang terdapat illat dalam periwayatannya,dalam bentuk apa dan dimana illat tersebut terjadi, dan pada sanad pada matan.
3) Ilmu Gharib Al-Hadits
Adalah ilmu yang mempelajari makna matan hadits dari lafal yang sulit dan asing bagi kebanyakan manusia,karena tidak umum dipakai orang Arab.
Tujuan ilmu ini untuk mengetahui  mana kata-kataa dalam hadits yang tergolong gharib dan bagaimana metode para ulama memberikan interpretasi kalimat gharib dalam hadits tersebut.
4) Ilmu Mukhatalif Al-Hadits
Dr.Mahmud Ath-Thahan menjelaskan secara sederhana, bahwa Mukhatalif Al-Hadits adalah Hadits makbul kontradiksi dengan sesamanya serta memungkinkan dikompromikan antara keduanya.
Tujuan ilmu ini mengetahui hadits mana saja yang kontra satu dengan yang lain dan bagimana pemecehannya atau langkah-langkah apa yang dilakukan para ulama dalam menyikapi hadits-hadits yang kontra tersebut.
5) Ilmu Nasikh wa Mansukh
Menurut ulama ushul fiqih, nasakh aadalah Pembatalan hukum syara oleh syari (pembuat syariat) dengan dalil syara yang datang kemudian.
Ilmu Nasikh wa Mansukh menurut ahli hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang menasakh dan yang dinasakh.
Tujuan mempelajariilmu ini untuk mengetahui salah satu proses hukum yang dihasilkan dari hadits dalam bentuk nasikh mansukh dan mengapa terjadi nasikh mansukh.
6) Ilmu Fann Al-Mubhamat
Ilmu Fann Al-Mubhamat adalah ilmu yang membicarakan tentang seseorang yang samar namanya dalam matan atau sanad.
Tujuan ilmu ini mengetahui siapa sebenarnya nama-nama atau identitas orang-orang yang disebutkan dalam matan atau sanad hadits yang masih samar-samar atu tersembunyi.
7) Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits
Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits adalah ilmu yang menerang kan sebab-sebab datangnya hadits dan beberapa munasabahnya (latar belakang).
Tujuan ilmu ini adalah mengetahui sebab-sebab dan latar belakang munculnya suatu hadits,sehingga dapat mendukung dalam pengkajian makna hadits yang dikehendaki
8) Ilmu Tashhif wa Tahrif
Adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang diubah titiknya (mushahaf) atau dirubah bentuknya (muharraf).
Tujuannya,mengetahui kata-kata atau nama-nama yang salah dalam sanad atau matan hadits dan bagaimana sesungguhnya yang benar sehingga tidak terjadi kesalahan terus menerus dalam penukilan dan mengetahui derajat kualitas kecerdasan dan ke-dhabith-an seorang perawi.
9) Ilmu Mushthalah Al-Hadits
Adalah ilmu yang membahas tentang pengertian istilah-istilah ahli hadits dan yang dikenal antara mereka.
Tujuannya, memudahkan para pengkaji dan peneliti hadits dalam mempelajari dan riset hadits,karena para para pengkaji dan peneliti tidak akan dapat melakukan kegiatannya dengan mudah tanpa mengetahui istilah-istilah yang telah disepakati oleh para ulama.

****Dari uraian singkat mengenai Ilmu Hadits, perkembangan, dan cabang-cabangnya, dapat kita simpulkan:
~ Al Quran dan hadits merupakan petunjuk dan pedoman hidup umat Islam. Jika kedua pedoman itu dipegang teguh dalam mengarungi dunia, umat islam akan selamat sejahtera dunia akhirat, demikian pula sebaliknya, umat islam akan tersesat jika  Al Quran dan Hadits ditinggalkan.
~ Sebagai sumber ajaran kedua setelah Al Quran, maka kajian-kajian dalam berbagai disiplin ke-Islam-an seperti: Akidah, Akhlaq, Syariah, dan Muamalah harus mengacu pada Hadits Rasul (setelah Al Quran). Bagi umat Islam dan khususnya mereka yang menekuni study ke-Islam-an , dipandang sangat perlu menguasai Al Quran dan Hadits secara mendalam, sehingga dalam menentukan hukum dalam berbagai masalah ke-Islam-an benar-benar dapat dipertanggungjawabkan baik dihadapan Allah SWT maupun dihadapan manusia.
~ Untuk memahami Hadits secara mendalam, harus menguasai Ilmu Hadits. Dengan memahami Ilmu Hadits, akan diketahui kualitas suatu hadits, apakah Shahih, hasan, atau dhaif. Selain itu juga dapat mengetahui jenis dan bentuk hadits dan sumber hadits apakah benar-benar dari Nabi atau bukan.

Oleh. Khery, Azis, Dhani, Ari

***SUMBER REFERENSI***
Agus Solahudin, dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka setia, Cet.ke-1, Hal-107 )
Abduh Almanar, Studi Ilmu Hadis (Jakarta:Gaung Persada Press, Cet.1, Hal.131)
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, Cet.1, h.81)
Abdul Majid Khon, M.Ag., Ulumul Hadis,( Amzah,Cet-1,Hal.84-92)

Pemikiran Kalam Khawarij dalam ilmu Kalam

 Pemikiran Kalam Khawarij 1. Pengertian dan Penisbatannya A l-Khawarij adalah bentuk jama' dari khariji (yang keluar). Nama khawarij d...