Sunnah Dalam Syariat Islam

Secara istilah, As-Sunnah diartikan secara berbeda sesuai dengan penekanan bidang ilmu masing-masing, diantaranya adalah sebagai berikut :
a) As-Sunnah menurut terminologi ahli fikh : Apa-apa yang jelas/tegas dilakukan Nabi SAW tapi tidak bersifat wajib. Dan sunnah termasuk dalam lima jenis hukum pembebanan, masing-masing : Wajib, Sunah, Haram, Makruh, dan Mubah, pada kesempatan lainnya terkadang sunnah juga dianggap sebagai lawan kata dari bid’ah.
b) As-Sunnah menurut ulama Ushulliyin : Apa-apa yang bersumber dari Nabi SAW selain Al-Quran, baik berupa ucapan, perbuatan, atau ketetapan ( taqrir)
c) As-Sunnah menurut ulama hadits : Apa-apa yang didapatkan/ditemukan dari Nabi SAW berupa ucapan, atau perbuatan, atau ketetapan, atau sifatnya atau kisah hidupnya.

Para ulama muslimin telah bersepakat bahwa apa-apa yang bersumber dari Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir, yang berkaitan dengan masalah hukum, kepemimpinan dan peradilan,-yang diriwayatkan dengan sanad shohih- adalah menjadi dasar hukum bagi kaum muslimin, sebagai rujukan dalam pengambilan hukum oleh para mujtahid.

Maka As-Sunnah adalah pokok yang kedua dari sumber-sumber dalil syariat Islam. Kedudukannya setelah Al-Quran. Legalitas As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam, dikuatkan dengan dalil-dalil diantaranya sebagai berikut :
Pertama : Dari Al-Qur’anul Karim
1) Allah SWT telah menegaskan perintah untuk mengikuti dan mentaati Rasulullah SAW. Firman Allah SWT : “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah “ ( QS Al Hasyr :7 ). Firmannya yang lain : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
2) Allah SWT juga menegaskan larangan untuk ragu-ragu atas hukum yang dikeluarkan Rasulullah SAW. Firman Allah SWT : “ Dan tidaklah patut bagi lakilaki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka “ ( QS al-Ahzab 36)

Kedua : Perbuatan Shahabat
Para sahabat baik ketika Rasulullah SAW masih hidup ataupun setelah beliau wafat, tetap menjadikan As-Sunnah sebagai dasar pengambilan hukum. Dan mereka tidak membedakan hukum yang berasal dari Al-Quran maupun dari Rasulullah SAW. Hal ini berdasarkan pemahaman mereka yang baik atas ayat : “ dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS an-Najm 3-4)


Ketiga : Dalil Aqly (Logika)
Tidak mungkin menjalankan kewajiban Agama hanya dengan berdasarkan pada perintah Al-Quran yang sebagian besar bersifat general. Contoh perintah dalam Al-Quran yang bersifat general,firman Allah SWT : “ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat ( QS al Baqoroh 43)” , tentang masalah puasa : “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS AlBaqoroh 183). Begitu pula tentang perintah haji : “ mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah( QS Ali Imron 97)


Perintah diatas baik sholat, zakat, puasa maupun haji sangat bersifat general, dan tidak dapat dikerjakan kecuali dengan perincian teknisnya yang ada pada Sunnah. Maka dalam As-Sunnah kita dapat mengetahui misalnya : waktu-waktu sholat, jumlah rekaatnya, dan cara pelaksanaannya. Begitu pula dengan zakat, kadar wajibnya, waktu pengeluarannya, dan harta-harta yang wajib dizakati. Begitu pula pada shaum dan haji.

Tingkatan As-Sunnah di dalam urutan dalil syar’i ada pada urutan kedua setelah Al-Quran, hal ini dilandaskan pada hal-hal sebagai berikut :
1) Bahwa Al-Quran adalah dalil yang bersifat qath’iy (kuat/final) karena periwayatannya bersifat mutawatir.(diriwayatkan oleh banyak rawi dalam setiap tingkatan) , sedangkan As-Sunnah sebagian besar adalah dalil dzhan yang diriwayatkan secara ahad, tidak sampai derajat mutawatir.
2) Karena As-Sunnah adalah berfungsi sebagai bayan atau penjelas dari hukum Al-Quran, maka As-Sunnah baru dianggap / dipakai setelah tidak ada sebuah hukum yang jelas dalam Al-Qur’an tentang sebuah masalah.
3) Apa yang ditunjukkan dalam akhbar dan atsar, diantaranya hadits Muadz saat diutus Rasulullah SAW ke Yaman : Ketika itu Rasulullah SAW bertanya padanya : “ Dengan apa engkau berhukum ? “ , maka dijawab : “ dengan Kitabullah “ , kemudian ditanya kembali : “ Bagaimana jika tidak engkau dapatkan ( dalam Kitabullah )”, maka dijawab : “ Dengan sunnah Rasulullah SAW “, kemudian ditanya kembali : “ Bagaimana jika tidak engkau dapatkan ( dalam Sunnah ) ?”. Maka Muadz menjawab : “ aku akan berijtihad dengan pikiranku “

Oleh, Hatta Syamsuddin, Lc. www.indonesiaoptimis.com

Pemikiran Kalam Khawarij dalam ilmu Kalam

 Pemikiran Kalam Khawarij 1. Pengertian dan Penisbatannya A l-Khawarij adalah bentuk jama' dari khariji (yang keluar). Nama khawarij d...